PENGOLAHAN IKAN SECARA TRADISIONAL:
PROSPEK DAN PELUANG
PENGEMBANGAN
ABSTRAK
Subsektor perikanan mempunyai peranan penting sebagai penyumbang protein bagi masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tidak semua wilayah Indonesia dapat tercukupi kebutuhannya akan protein karena ketersediaan ikan
per kapita belum terdistribusi secara merata. Pengolahan dapat membuat ikan menjadi awet dan memungkinkan
untuk didistribusikan dari pusat produksi ke pusat konsumsi. Namun, selama 20 tahun terakhir, produksi ikan yang
diolah baru sekitar 23−47%, dan dari jumlah tersebut, sebagian besar merupakan pengolahan tradisional, karena
pengolahan modern memerlukan persyaratan yang sulit dipenuhi oleh perikanan skala kecil, yaitu pasokan bahan
baku yang bermutu tinggi dalam jenis dan ukuran yang seragam, dalam jumlah yang cukup banyak sesuai dengan
kapasitas industri. Kondisi ini menggambarkan bahwa pengolahan tradisional masih mempunyai prospek untuk
dikembangkan. Prospek ini didukung oleh masih tersedianya sumber daya ikan di pusat produksi, tingginya permintaan
di pusat konsumsi, sederhananya teknologi, serta banyaknya industri rumah tangga pengolah tradisional. Walaupun
demikian, selama ini ikan olahan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya
mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya sifat fungsional, serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi
konsumen. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menggunakan cara pengolahan yang benar, melakukan rasionalisasi
dan standarisasi mulai dari bahan baku dan bahan pembantu, proses, hingga produk akhir, serta menegakkan prinsip
sanitasi dan higiene yang baik. Pengembangan pengolahan ikan tradisional memerlukan pembinaan yang diawali
dari riset, diseminasi serta penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan.
Kata kunci: Ikan, pengolahan, nutrisi, standardisasi, pengawasan mutu
ABSTRACT
Page 1
92
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
S
ubsektor perikanan dan peternakan
merupakan andalan utama sumber
pangan dan gizi bagi masyarakat Indone-
sia. Ikan, selain merupakan sumber
protein, juga diakui sebagai "functional
food" yang mempunyai arti penting bagi
kesehatan karena mengandung asam lemak
tidak jenuh berantai panjang (terutama yang
tergolong asam lemak omega-3), vitamin,
serta makro dan mikro mineral.
Dibandingkan negara lain, sumbang-
an perikanan dalam penyediaan protein di
Indonesia termasuk besar, yakni 55%
(Tabel 1). Namun demikian, jumlah ikan
yang tersedia belum memenuhi kondisi
ikan tetapi jumlah konsumennya sedikit
seperti di Kalimantan atau di Kawasan
Timur Indonesia (KTI), angka ketersedia-
an ikan per kapita sudah dapat mencapai
kondisi ideal, tetapi di daerah yang
merupakan pusat konsumen tetapi
pasokan ikannya rendah seperti di Jawa,
angka ketersediaan ikan per kapita jauh
lebih rendah (Tabel 2). Pengolahan mem-
punyai peluang besar dalam mengatasi
masalah ini karena, ikan menjadi awet dan
memungkinkan untuk didistribusikan
dari pusat produksi ke pusat konsumsi.
Data selama 20 tahun terakhir,
menunjukkan bahwa di Indonesia,
produksi ikan yang diolah hanya 23−47%,
dan sisanya dijual sebagai ikan segar atau
ikan basah. Cara pengolahan tradisional
seperti penggaraman, pengeringan,
pemindangan, pengasapan, dan fermen-
tasi lebih dominan daripada cara
pengolahan modern seperti pembekuan
dan pengalengan, (Tabel 3). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa
persentase ikan yang di olah secara
tradisional selalu tinggi, meskipun selama
ini produk tersebut mempunyai citra
yang "kurang bergengsi" dan sering juga
disebut sebagai "ikan bagi si miskin"
("fish for the poor"). Gambaran tersebut
mengindikasikan bahwa pengolahan ikan
secara tradisional masih mempunyai
prospek untuk dikembangkan, dengan
melakukan perbaikan-perbaikan agar
produk yang dihasilkan memenuhi
persyaratan mutu dan jaminan keamanan
bagi konsumen.
STATUS DAN PERSPEKTIF
PENGEMBANGAN
Menurut terminologi FAO, ikan
olahan tradisional, atau "cured fish" adalah
produk yang diolah secara sederhana dan
umumnya dilakukan pada skala industri
rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk
produk olahan tradisional ini adalah ikan
kering atau asin kering, ikan pindang, ikan
asap, serta produk fermentasi yaitu kecap,
peda, terasi, dan sejenisnya. Produk
seperti ini tidak hanya dikenal di
Indonesia, tetapi juga di negara-negara
lain di Asia, Afrika, bahkan di Eropa
(Inggris, Norwegia, Polandia).
Di Indonesia, pengolahan ikan secara
tradisional dilakukan oleh para nelayan
Tabel 1. Proporsi konsumsi protein
ikan terhadap protein he-
wani dan ketersediaan ikan
per kapita dari berbagai
negara di dunia.
Sumber: Nikijuluw (1997) Dalam Suryana dan Budianto (1998).
ideal kecukupan gizi sebesar 26,55 kg ikan/
kapita/tahun. Dengan produksi ikan
sebesar 4,80 juta ton, maka jumlah
ketersediaan ikan hanya 19,20 kg/kapita
pada tahun 1998. Diperkirakan angka
konsumsi ikan secara aktual berada di
bawah angka ketersediaan tersebut,
karena masih tingginya angka susut hasil
("loss") baik kuantitas, kualitas, maupun
nilai gizinya. Prediksi tersebut diperkuat
dengan masih tingginya angka prevalensi
Kekurangan Energi Protein (KEP) total
pada balita yang mencapai 35% dan KEP
nyata sebesar 14,60% pada tahun 1995
(Kodyat et al., 1998). Impor produk
perikanan sebesar US$ 122.369.000 pada
1997 dapat dikatakan tidak mampu
menyumbang pasokan gizi di dalam negeri
karena sebagian besar (66%) berupa
tepung ikan. Sisanya adalah bahan baku
bagi industri pengalengan atau pem-
bekuan yang hasil produksinya diekspor
kembali.
Selain rendahnya angka rata-rata
ketersediaan ikan per kapita secara
nasional dibandingkan dengan angka
kecukupan gizi, masalah yang masih
dihadapi adalah belum meratanya
distribusi ikan antardaerah karena tidak
seimbangnya distribusi konsumen dengan
produsen (Suryana dan Budianto, 1998).
Di daerah yang merupakan pusat produksi
Page 3
94
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
dan keluarganya di sepanjang pantai
tempat pendaratan ikan dengan cara
pengolahan yang diwariskan secara turun-
temurun. Dari segi cita rasa, produk
tersebut disukai oleh konsumen yang
terbiasa mengkonsumsi secara turun-
temurun pula. Produk ikan olahan tradisi-
onal ini mempunyai sebaran distribusi
yang luas karena pada umumnya produk
relatif stabil walaupun pengawetan dan
pengemasannya sangat sederhana.
Pengolahan modern seperti pe-
ngalengan atau pembekuan menuntut
pasokan bahan baku yang bermutu tinggi,
jenis dan ukuran seragam serta tersedia
dalam jumlah yang cukup banyak sesuai
dengan kapasitas industri. Di Indonesia,
persyaratan tersebut sulit dipenuhi karena
beberapa hal. Pertama, corak perikanan
bersifat perikanan rakyat, dengan 90%
armada perahu kecil tanpa motor, pola
produksinya tersebar di antara nelayan
yang sangat banyak jumlahnya, sedangkan
jumlah hasil tangkapan per nelayan hanya
sedikit. Kedua, perikanan tropik mem-
punyai ciri khas berupa jenis dan ukuran
ikan yang sangat beragam. Kedua hal ini
menjadi kendala dalam memasok ikan
dengan jenis dan ukuran seragam serta
jumlah yang cukup. Di samping itu,
nelayan sering pergi ke laut tanpa
membawa es sebagai pengawet ikan,
karena harga es relatif mahal sedangkan
ikan belum tentu berhasil ditangkap.
Daerah penangkapan ("fishing ground")
yang cukup jauh (lebih dari 12 jam
perjalanan), menyebabkan mutu ke-
segaran ikan cepat menurun karena ikan
terpapar suhu dan kelembapan tinggi
dalam waktu lama. Saat didaratkan, ikan
yang mutunya telah menurun ini tidak
memenuhi syarat lagi bagi pengolahan
modern. Belum tersedianya fasilitas
pengawetan, penyimpanan, dan trans-
portasi ikan yang memadai di pusat-pusat
pendaratan ikan, juga menyebabkan ikan
tidak dapat memungkinkan dikirim ke
pabrik-pabrik pengolahan. Berbagai
masalah ini menyebabkan pengolahan
secara tradisional menjadi pilihan yang
tidak dapat dihindarkan. Namun, kondisi
ini sekaligus merupakan peluang di-
kembangkannya pengolahan tradisional,
karena tersedianya sumber daya ikan di
pusat produksi, tingginya permintaan di
pusat konsumsi, banyaknya industri
rumah tangga pengolah tradisional, dan
sederhananya teknologi pengolahan.
Konsep pengolahan modern di-
kembangkan atas kemajuan ilmu dan
teknologi berdasarkan hasil penelitian dan
pengembangan, sedangkan pengolahan
tradisional lebih banyak didasarkan atas
konsepsi yang diwariskan secara tradisi-
onal. Ciri khas yang menonjol dari
pengolahan tradisional adalah jenis dan
mutu bahan baku serta bahan pembantu
yang sangat bervariasi, dan kondisi
lingkungan yang sulit dikontrol. Cara
proses, dan prosedur selalu berbeda
menurut tempat, individu, dan keadaan,
lebih banyak tergantung pada faktor alam,
perlakuan tidak terukur secara kuantitatif,
satuan tidak rasional, sehingga proses
tidak dapat diulang dengan hasil yang
identik. Akibatnya, produk yang
dihasilkan tidak seragam secara kuantitatif
maupun kualitatif, dengan daya awet yang
bervariasi, sehingga sulit distandardisasi-
kan. Oleh karena itu, demi perlindungan
terhadap konsumen, pengembangan
pengolahan tradisional harus disertai
dengan beberapa upaya perbaikan.
PERBAIKAN PROSES
PENGOLAHAN
Perbaikan proses pengolahan
diperlukan untuk menghasilkan produk
yang konsisten sifat fungsionalnya
dengan mutu dan nilai nutrisi yang tinggi
serta aman bagi konsumen.
Sifat Fungsional
Dalam ilmu teknologi pangan, sifat
fungsional didefinisikan sebagai suatu
sifat dalam makanan yang berkaitan
dengan daya guna dan keinginan
konsumen (Sikorski et al., 1998). Rasa, bau,
warna, tekstur, kelarutan, penyerapan dan
penahanan air, kerenyahan, elastisitas,
nilai nutrisi, dan daya awet merupakan
sifat fungsional penting pada ikan olahan,
sedangkan harga, ketersediaan, serta jenis
dan bentuk olahan bukan merupakan sifat
fungsional, walaupun keadaan tersebut
juga sangat penting bagi konsumen.
Dengan latar belakang pengolahan
ikan secara tradisional yang sangat
kompleks dan kondisi pengolahan yang
serba tidak rasional, sifat fungsional
produk olahan tradisional sangat
bervariasi, bukan hanya antar pengolah,
tetapi juga antar kelompok olahan
("batch") dalam satu pengolah. Agar
tercapai sifat fungsional yang konsisten,
maka proses pengolahan harus rasional
dan standar. Untuk itu sangat perlu untuk
mengidentifikasi dan mengkarakterisasi
sifat-sifat fungsional setiap jenis produk
dikaitkan dengan proses pengolahannya,
agar pengolahan dapat distandardisasi-
kan.
Mutu dan Nilai Nutrisi
Proses penggaraman, pada pe-
ngolahan ikan secara tradisional,
mengakibatkan hilangnya protein ikan,
yang dapat mencapai 5%, tergantung pada
kadar garam dan lama penggaraman
(Opstvedt, 1988). Pemasakan pada 95−
100
o
C dapat mereduksi kecernaan protein
dan asam amino. Selain itu, protein terlarut,
peptida dengan berat molekul rendah, dan
asam amino bebas dapat larut dalam air
perebus, sehingga perebusan sebaiknya
dilakukan di bawah 100
o
C. Senyawa nitrit,
yang sering digunakan dalam pengolahan
ikan secara tradisional sedapat mungkin
dihindari karena nitrit selain bersifat
toksik, juga mereduksi kualitas protein.
Pengeringan, dapat mendorong terjadinya
oksidasi dan ketengikan pada lemak (Bligh
et al., 1988), serta menurunkan kualitas
nutrisional protein (Raghunath et al., 1995)
sehingga pengeringan harus dilakukan
pada suhu di bawah 70
o
C. Pengasapan
juga harus dilakukan pada waktu dan
kepekatan asap serendah mungkin, karena
asap mengandung senyawa-senyawa
karbonil yang akan bereaksi dengan lisin
dan mereduksi kualitas protein. Bahan
baku yang disimpan beku hingga 33
minggu dapat menyebabkan hilangnya
lisin dan tiamin yang tersedia setelah
pengasapan masing-masing 74% dan 90%.
(Zotos et al., 1995). Burt (1988) me-
nyatakan bahwa beberapa jenis vitamin
yang terdapat dalam ikan akan mengalami
kerusakan sebagai akibat proses pe-
ngeringan atau pengasapan, tergantung
waktu dan suhu, pH, serta terjadinya
penirisan ("drip"). Pengasapan panas (di
atas 80
o
C) dapat menyebabkan hilangnya
vitamin yang larut dalam air seperti niasin,
riboflavin, dan asam askorbat hingga 4%
(Bhuiyan et al., 1993). Pemanasan yang
berlebihan (di atas 90
o
C secara berulang-
ulang) dapat menyebabkan pembentukan
H
2
S yang merusak aroma dan mereduksi
ketersediaan sistein dalam produk (Pan,
1988). Selain itu, pemanasan juga
menyebabkan terjadinya reaksi Maillard
antara senyawa amino dengan gula
pereduksi yang membentuk melanoidin,
Page 4
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
95
suatu polimer berwarna coklat yang
menurunkan nilai kenampakan produk.
Pencoklatan juga terjadi karena reaksi
antara protein, peptida, dan asam amino
dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi
ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan
dengan menurunkan nilai cerna dan
ketersediaan asam amino, terutama lisin.
Indriati et al. (1991) menemukan bahwa
reaksi pencoklatan pada ikan asin di
Indonesia kebanyakan terjadi pada
produk berkadar garam 7,70−16,90%
dengan nilai aktivitas air (Aw) antara 0,70−
0,78. Untuk mempertahankan mutu dan
nilai gizi produk, hal-hal tersebut di atas
harus menjadi pertimbangan dalam
melakukan pengolahan. Perbaikan mutu
dapat juga dilakukan dengan teknik
pengemasan. Pengemasan dapat dilakukan
dengan pemberian plastik sebagai pelindung.
Aspek Keamanan Produk
Kimiawi
Makanan yang diolah dengan cara
dipanggang menggunakan arang, listrik,
gas, minyak tanah, atau diasap, selalu
dihadapkan pada kemungkinan bahaya
senyawa karsinogenik dan mutagenik.
Senyawa polar yang larut dalam air dan
tahan panas, bertanggung jawab terhadap
pembentukan mutagen, misalnya karbolin
selama pemanasan makanan (Krone et al.,
1986). Kondisi pembakaran, pemanggang-
an, dan pengasapan sangat cocok bagi
pembentukan hidrokarbon aromatik
polisiklik (PAH), senyawa N-nitroso
(NNC), dan amina aromatik heterosiklik
(HAA), yang semuanya bersifat
karsinogenik. HAA merupakan hasil reaksi
antara asam amino dengan pirolisat
protein, lebih sering ditemukan pada
produk panggang daripada produk asap.
Adapun NNC, baik yang berupa N-
nitrosamin (NNA), maupun N-nitrosodi-
metilamin, merupakan hasil reaksi antara
nitrogen oksida, yang berasal dari nitrit
atau asap kayu, dengan senyawa amina
sekunder yang banyak terdapat dalam
ikan. Pemanggangan dengan kompor gas
atau minyak tanah pada suhu di atas 100
o
C
dapat menghasilkan NNC yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pemanggang
listrik. Walaupun demikian, NNC yang
terdapat dalam produk dapat didegradasi
dengan sterilisasi. Sterilisasi adalah suatu
cara atau proses membebaskan bahan dari
segala macam mikroba dengan suhu
dan waktu tertentu (Dikun et al.,1980),
Pada ikan asap, PAH berasal dari asap
kayu, terutama lignin dan selulosa. Fraksi
hidrokarbon dari asap kayu mengandung
lebih dari 24 jenis PAH. Walaupun tidak
semua jenis PAH tersebut bersifat
karsinogenik, Benzopirena (BP), salah satu
jenis PAH, adalah indikator karsinogenitas.
Sikorski (1988) menyebutkan kandungan
BP pada ikan asap sekitar 0,70 hingga 60
ng/g (bb) terbanyak terdapat di bagian
kulit. BP juga lebih banyak ditemukan pada
ikan yang diasap secara tradisional
(pengasapan langsung pada suhu tinggi)
dibandingkan dengan yang menggunakan
alat pengasap dengan generator asap yang
terpisah yang bekerja pada suhu rendah.
Pada prinsipnya pengasapan harus
dilakukan dengan mengatur suhu dan
kecepatan aliran udara serta kepekatan
asap agar produksi fenol dan karbonil
menjadi seperti yang diinginkan yakni
pembentukan PAH sekecil mungkin.
Meskipun demikian, kuantifikasi proses
pengolahan tidak pernah dilakukan karena
intensitas asap yang diinginkan kon-
sumen bervariasi, sedangkan faktor yang
berpengaruh terhadap intensitas asap
produk akhir, juga beragam seperti jenis
dan kelembapan kayu, atau jenis,
ketebalan, kadar air,dan kadar lemak ikan.
Oleh karena itu, pengaturan suhu,
kecepatan udara, dan kepekatan asap
diatur secara manual, disesuaikan dengan
intensitas asap yang diinginkan. Sebagai
pedoman, Sikorski (1988) menyatakan
bahwa untuk mencegah pembentukan BP,
suhu dekomposisi kayu harus di bawah
400
o
C dan suhu oksidasi senyawa volatil
hasil dekomposisi tersebut tidak lebih dari
200
o
C. Untuk menentukan kondisi
pengasapan secara lebih tepat dapat
digunakan persamaan semi-empirik dari
Nikitin (1965) Dalam Doe et al. (1998)
sebagai berikut:
t = 1/k ln [(Wo-We)/(Wt-We)] dengan
k = 2,7 v
0.2
cf
−0.3
[(0.01T)
3
+1.3a]10
−3
t = waktu pengasapan (menit)
k = konstanta laju pengasapan (1/jam)
Wo = kadar air awal (kg/kg bobot kering)
We = kadar air ekuilibrium (kg/kg bobot
kering)
Wt = kadar air akhir (kg/kg bobot kering)
cf = kadar lemak ikan (%)
v = kecepatan aliran udara (m/detik)
a = kelembapan relatif (%)
T = suhu asap (
o
C).
Mikrobiologis
Kandungan protein ikan yang relatif
tinggi, dengan kandungan air 10−60%,
cara pengolahan yang kurang saniter dan
higienis, serta penyimpanan dalam
keadaan tidak dilindungi/dikemas dengan
baik pada kondisi tropik, mengakibatkan
produk ikan olahan tradisional sangat
rentan terhadap kerusakan mikrobiologis.
Kerusakan mikrobiologis dapat me-
nyebabkan pembusukan produk baik oleh
bakteri atau jamur yang patogen maupun
oleh racun yang dihasilkan.
Sikorski et al. (1998) menyatakan
bahwa Enterobacteriaceae sering ditemu-
kan pada ikan asap yang berkadar air
tinggi, juga Salmonella typhimurium dan
Vibrio parahaemolyticus. Karena cara
pengolahan yang dikombinasikan dengan
pemanasan dan kontaminasi dari para
pengolah tidak terhindarkan, maka produk
ikan asap juga rentan terhadap per-
tumbuhan Staphylococcus aureus.
Walaupun demikian, Listeria monocyto-
genes, bakteri penyebab meningitis yang
sering ditemukan pada ikan asap di
beberapa negara, belum pernah dilapor-
kan terdapat pada produk olahan ikan di
Indonesia. Hal ini kemungkinan disebab-
kan ikan asap di Indonesia tidak disimpan
pada suhu rendah, yang merupakan per-
syaratan bagi kehidupan bakteri tersebut.
Selain penyakit yang disebabkan
oleh bakteri, bahaya lain adalah terjadinya
keracunan akibat pertumbuhan Clostri-
dium botulinum, bakteri pembentuk spora
yang sangat tahan panas, yang
menghasilkan racun botulisme. Bakteri ini
perlu diwaspadai, terutama bila meng-
gunakan kemasan hampa udara, karena
bakteri bersifat anaerobik. Racun lain yang
dapat menimbulkan alergi pada beberapa
orang yang peka adalah histamin, suatu
produk dekarboksilasi asam amino histidin
yang terdapat pada ikan berdaging merah
seperti tuna, cakalang, kembung, dan
layang, oleh beberapa jenis bakteri seperti
Morganella, Proteus, dan Klebsiella.
Penyimpanan ikan tanpa pendinginan
sebelum diolah dapat mempercepat
pembentukan histamin. Salah satu
derivatif histamin yang toksik adalah
senyawa yang disebut giserosin, yang
dapat menyebabkan tukak lambung (GE).
Pada ikan peda, kadar histamin ini
mencapai 107−133 mg% (Sarnianto et al.,
1984). Nilai ini telah melewati batas yang
disyaratkan oleh Federal Register di
Amerika, yaitu 50 mg%.
Jamur yang sering tumbuh pada
kondisi aktivitas air atau kadar air rendah,
selain menurunkan nilai estetika, juga
potensial untuk menghasilkan racun. Ikan
asin, ikan pindang, dan ikan asap paling
Page 5
96
urnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
sering ditumbuhi Aspergillus spp. dan
Penicillium spp. Jenis jamur yang
dominan pada ikan asin adalah Poly-
paecilum pisce dan A. niger (Wheeler et
al., 1986), namun jenis serofilik yang
ditemukan pada ikan asin adalah A.
awamori, A. carbonarius, A. glaucus, A.
tamarii, dan Eurotium glaucus (Santoso
et al., 1999). Pada ikan kayu dari cakalang
(katsuobushi), jenis jamur yang sering
ditemukan yakni A. glaucus, P. glaucus,
A. melleus. E. repens,dan E. rubrum.Jamur
ini diyakini mampu memberikan aroma
yang lezat pada ikan kayu, sedangkan A.
flavoviridescens, Torula spp., Cladospo-
rium herbarum, dan Catennlaria
faliginea adalah kontaminan yang tidak
disukai (Motohiro, 1988). Jenis jamur yang
potensial menghasilkan racun karsino-
genik adalah A. flavus, yang menghasilkan
aflatoksin. Jamur ini mempunyai waktu
germinasi 8 jam pada aktivitas air 0,97 dan
suhu 30
o
C, sehingga untuk menghambat
pertumbuhannya dapat dilakukan dengan
pengaturan aktivitas air. Radiasi dengan
sinar gamma pada 0,62−5,00 KGy dapat
mematikan spora A. flavus. Wheeler et al.
(1986) menemukan A. flavus pada be-
berapa sampel ikan asin yang diambil dari
pasar-pasar di Indonesia, walaupun
aflatoksin tidak ditemukan pada sampel-
sampel tersebut. Toksin lain yang
ditemukan pada ikan asin adalah
moniliformin yang dihasilkan oleh
Fusarium fusaroides (Rabie et al., 1978).
Kerusakan oleh bakteri maupun
jamur sebenarnya dapat dihindari dengan
mengembangkan model-model pem-
busukan produk olahan oleh beberapa
jenis bakteri dan jamur tertentu. Suatu
model pembusukan ikan asin oleh bakteri
Staphylococcus xylosus, Halobacterium
salinarium, dan jamur telah dihasilkan oleh
Doe dan Heruwati (1988). Sebagai contoh,
dengan model yang merupakan fungsi
antara aktivitas air produk, suhu dan
waktu penyimpanan dapat diprediksi
bahwa bila suatu produk yang mempunyai
aktivitas air antara 0,75−0,90 disimpan
pada suhu antara 25−45
o
C, maka produk
tersebut akan mengalami penjamuran
setelah disimpan lebih dari 20 jam (Gambar
1).
Kerusakan fisik
Kerusakan fisik terjadi pada ikan
kering atau ikan asin karena serangan
serangga. Lalat biasanya bertelur di atas
ikan asin yang sedang dijemur. Pada ikan
berukuran besar yang tidak dapat kering
dalam sehari, telur tersebut akan menetas
menjadi belatung pada hari berikutnya.
Keberadaan belatung pada ikan asin
praktis menurunkan nilai jual produk
karena alasan estetika. Lalat rumah
(Musca domestica) dapat menghasilkan
telur 90−120 butir sedangkan lalat hijau
(Chrysomia megacephala) menghasilkan
200−300 butir setiap kali bertelur (Doe,
1998). Masalah ini berdampak cukup
serius karena untuk mengatasinya, para
pengolah menggunakan insektisida yang
berbahaya seperti startox. Selain
menyebabkan kerusakan fisik, lalat juga
menjadi perantara bagi kontaminasi bakteri
pembusuk dan patogen seperti Acineto-
bacter, Staphylococcus, dan Vibrio-
naceae. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa satu ekor lalat dapat membawa
sekitar 102−103 bakteri pada musim
kemarau dan antara 108 −109 pada musim
hujan (Indriati, 1985).
Kerusakan oleh serangga lain terjadi
pada tahap penyimpanan ikan asin, yang
disebabkan oleh serangga semacam
kumbang (Dermestes ater, D. carnivorus,
D. frischii, dan D. maculatus), Necrobia
rufipes, dan Piophila casei. Dermestes
lebih menyukai ikan kering yang tidak
terlalu asin, sedangkan Piophila lebih
menyukai ikan asin yang berkadar air
tinggi (Indriati dan Heruwati, 1988; Indriati
et al., 1991). Kerusakan oleh lalat dapat
dicegah dengan mengurangi populasi lalat
melalui perbaikan sanitasi lingkungan
pengolahan, atau dengan menggunakan
alat pengering yang dapat menahan
masuknya lalat. Adapun kerusakan oleh
kumbang dapat dikurangi dengan
menurunkan kelembapan ruang pe-
nyimpanan dan memberi sirkulasi udara
yang cukup.
RASIONALISASI DAN
STANDARDISASI
Agar diperoleh produk dengan mutu
yang mantap dan stabil, proses pe-
ngolahan harus dilakukan secara rasional
dan baku. Rasionalisasi dan standardisasi
hendaknya dilakukan mulai dari bahan
baku, bahan pembantu, proses pengolah-
an, sampai lingkungan pengolahan.
Kondisi fisik dan bakterial, komposisi
kimia, serta kesegaran bahan baku dan
bahan pembantu harus diketahui untuk
memilih proses pengolahan yang tepat.
Dengan standardisasi maka konsumen
akan mendapatkan produk yang sesuai
dengan yang seharusnya. Kondisi ini juga
akan membuka peluang pengembangan
pemasaran produk olahan tradisional,
termasuk di luar negeri.
Bahan baku dan bahan pembantu
(khususnya garam dan air) yang
digunakan untuk pengolahan tradisional
Gambar 1.
Pola pembusukan yang didasarkan atas karakteristik pertumbuhan
beberapa jamur dan bakteri (Doe dan Heruwati, 1988).
Page 6
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
97
harus mempunyai mutu dan kesegaran
yang tinggi. Pendapat para pengolah
bahwa bahan baku dan bahan pembantu
untuk pengolahan tradisional tidak harus
bermutu tinggi terbentuk karena mereka
mengolah tidak berorientasi pada mutu
produk akhir. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena mereka tidak sadar akan
dapat memperoleh insentif lebih tinggi dari
mutu produk akhir yang lebih berkualitas.
Berdasarkan pendapat tersebut maka
kebanyakan pengolah ikan asin dengan
sengaja menunda pembelian ikan basah
di pelelangan hingga siang hari, yakni saat
harga ikan sudah jauh menurun di-
bandingkan dengan waktu baru diturun-
kan dari kapal, meskipun mutunya sudah
jauh menurun. Mereka juga menggunakan
sembarang air yang tersedia walaupun air
tersebut kotor, karena air bersih pada
umumnya sulit didapatkan di lokasi
pengolahan. Garam yang digunakan pun
yang paling murah, sehingga mutunya
rendah. Pengolah tidak mempertimbang-
kan garam seperti itu mengandung banyak
kotoran berupa lumpur dan bakteri yang
akan mengkontaminasi produk yang
diolah.
Rasionalisasi proses pengolahan,
termasuk pengemasan, perlu dilakukan
dengan terlebih dahulu menentukan
proses yang sesuai dengan masa simpan
yang diperlukan. Bila produk hanya
ditujukan untuk dipasarkan di wilayah
yang tidak jauh dari produsen, dan
mempunyai perputaran yang cepat (cepat
dibeli konsumen), maka produk tidak perlu
mempunyai daya awet sangat tinggi,
karena perpanjangan daya awet pasti
memerlukan tenaga dan biaya tambahan,
selain menimbulkan risiko bahaya
terhadap konsumen. Sebagai contoh,
upaya perpanjangan daya awet ikan
pindang dan ikan asap dapat dilakukan
dengan berbagai cara, namun semuanya
memberikan efek samping. Peningkatan
kadar garam akan mengurangi penerimaan
konsumen; perebusan berulang-ulang
atau sterilisasi akan membuat tekstur ikan
menjadi keras dan rapuh; penggunaan zat
pengawet atau antibiotik berisiko tinggi
terhadap kesehatan dan keselamatan
konsumen mengingat masih sulitnya
mengontrol jenis dan dosis yang
digunakan; penggunaan radiasi belum
dapat diterapkan secara komersial;
pengaturan aktivitas air menggunakan
humektan justru mendorong pertumbuhan
jamur; pengemasan hampa udara
berpeluang besar bagi pertumbuhan
Clostridium botulinum; sedangkan
penyimpanan pada suhu rendah masih
terlalu mahal untuk produk-produk
tersebut. Dari ilustrasi tersebut dapat
dikatakan bahwa pemilihan proses
pengolahan harus didasarkan atas ciri
kerusakan spesifik dan masa simpan yang
diinginkan untuk masing-masing jenis
produk. Untuk produk pindang misalnya,
dapat saja dibuat agar tahan disimpan
hingga 30 hari, tetapi bila tujuan
pemasaran tidak jauh dari lokasi
pengolahan, maka cara pengolahan
(waktu proses, kadar garam, bahan
pengawet, pengemasan, dll.) cukup
dirancang untuk produk dengan masa
simpan 5−7 hari saja karena biaya
prosesnya lebih murah dan efek
sampingnya lebih kecil. Hal terpenting
dalam rasionalisasi adalah melakukan
proses dengan terukur, antara lain dalam
jumlah, bobot, takaran, komposisi, tingkat
kesegaran, suhu, dan waktu, agar produk
tidak terlalu bervariasi dalam mutu dan
masa simpannya. Upaya ini akan
memudahkan dalam melakukan standar-
disasi proses maupun produk.
JAMINAN DAN
PENGAWASAN MUTU
Mutu dan jaminan mutu merupakan
bagian dari kehidupan modern. Oleh
karena itu, dalam konstelasi global dunia
modern dewasa ini, konsep mutu dan
jaminan mutu harus diterapkan dalam
setiap kegiatan masyarakat, termasuk
dalam pengembangan produk olahan ikan
tradisional. Tanpa prinsip tersebut, produk
olahan tradisional akan segera ditinggal-
kan oleh masyarakat.
Para pengolah hendaknya diajarkan
untuk memahami prinsip dasar pengolah-
an yang benar, dan dibiasakan untuk
melakukannya, sehingga sistem jaminan
mutu produk dapat diterapkan. Sistem
jaminan mutu berdasarkan analisis bahaya
titik kontrol kritis (HACCP) yang telah
menjadi keharusan untuk produk ekspor
ke Amerika, dan selama ini baru diterapkan
untuk produk olahan dari industri besar,
bukan tidak mungkin diterapkan pada
pengolahan tradisional. Konsep tersebut
diawali dengan mengidentifikasi potensi
bahaya, selanjutnya membuat rencana
HACCP dengan menyusun suatu tabel
audit yang komponennya terdiri atas alur
proses, kemungkinan risiko atau bahaya
pada setiap tahap proses, titik kontrol kritis
untuk setiap risiko/bahaya, dan pe-
ngendalian yang harus dilakukan. Contoh
tabel audit bahaya pada pengolahan ikan
asin kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Sistem jaminan mutu ini tentu harus
dilengkapi dengan pengawasan mutu yang
dapat dilakukan melalui pengujian secara
periodik. Untuk itu, kriteria mutu serta cara
pengujian dari setiap kriterium tersebut
harus ditetapkan. Selama ini mutu produk
olahan tradisional hanya ditentukan
secara sensoris yakni menggunakan
kriteria rupa, warna, bau, rasa, dan tekstur
atau konsistensi. Walaupun demikian di
masa depan, tidak berarti cara pengamatan
mutu ini harus ditinggalkan, melainkan
ditambah dengan cara-cara penentuan
mutu yang lebih obyektif demi mem-
berikan kepastian kepada konsumen akan
mutu suatu produk.
Kriteria mutu obyektif yang standar,
dan sering digunakan adalah komposisi
proksimat, yaitu kadar protein, lemak,
karbohidrat, dan garam. Bila perlu,
dilengkapi informasi jenis bahan dan
bumbu atau bahan tambahan ("food
additives") yang digunakan dan ditulis
pada kemasan karena konsumen berhak
mengetahuinya. Kriteria lain untuk
pengujian mutu dan tingkat kesegaran
produk adalah pH, kadar air, aktivitas air,
kadar basa menguap (TVB), total nitrogen
menguap (TVN), trimetilamin (TMA), dan
jumlah bakteri (TPC). Asam tiobarbiturat
(TBA), nilai peroksida (PV), dan asam
lemak bebas (FFA), umumnya digunakan
untuk mendeteksi kerusakan berupa
ketengikan atau kerusakan lain yang
berkaitan dengan lemak. Kriteria seperti
kelarutan dan kecernaan protein,
komposisi asam amino, sifat reologi, dan
rekonstitusi, sering digunakan untuk
keperluan riset. Adapun kriteria untuk
pengujian tingkat kesehatan ("whole-
someness") keamanan ("safety") produk
antara lain adalah adanya mikroorganisme
patogen dan pembentuk racun seperti
Salmonella, S. aureus, Vibrio parahae-
molyticus, Clostridium botulinum,
Escherichia coli, Bacillus cereus,
Listeria monocytogenes, dan Aspergillus
flavus; atau adanya zat-zat yang ber-
bahaya bagi kesehatan seperti bahan-
bahan karsinogenik misalnya PAH, HAA,
dan NNC serta turunannya, aflatoksin,
histamin, atau senyawa-senyawa insek-
tisida. Pemilihan kriteria yang akan
digunakan disesuaikan dengan tujuan
pemeriksaan, sedangkan pengujian setiap
Page 7
98
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
kriteria harus menggunakan metode dan
prosedur yang standar.
KESIMPULAN
Pengolahan ikan secara tradisional
masih mempunyai prospek untuk di-
kembangkan. Mengingat tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap
produk perikanan dalam memenuhi
kebutuhan gizi, belum meratanya
distribusi ikan dari pusat produksi ke pusat
konsumsi, serta belum terpenuhinya
persyaratan untuk melakukan pengolahan
modern. Prospek ini didukung oleh cukup
tersedianya sumber daya ikan, khususnya
di KTI, masih sederhananya teknologi
pengolahan, dan cukup banyaknya
industri rumah tangga yang melakukan
pengolahan ikan secara tradisional.
Keberhasilan pengembangan perlu
disertai dengan upaya perbaikan berupa
rasionalisasi dan standardisasi, agar sifat
fungsional, mutu, nilai nutrisi, keamanan
produk terjamin. Upaya perbaikan perlu
diikuti dengan peningkatan industrialisasi
dan komersialisasi.
Pengembangan pengolahan tra-
disional memerlukan bantuan pembinaan
yang diawali dengan penelitian, diteruskan
dengan diseminasi dan pengaturan-
pengaturan serta fasilitas sarana dan
prasarana. Pihak yang berwenang dan
mempunyai mandat dalam bidang
penelitian, penyuluhan, dan pembinaan
hendaknya melakukan rasionalisasi dan
standardisasi, menyusun petunjuk-
petunjuk praktis dan melakukan sosialisasi
petunjuk tersebut secara intensif kepada
para pengolah. Petunjuk praktis hendak-
nya memuat teknologi dan persyaratan
higieni dalam persiapan, pengolahan, dan
penyimpanan produk ikan tradisional,
yang didasarkan atas kebiasaan yang
mereka lakukan selama bertahun-tahun,
tetapi dengan perbaikan yang didasarkan
pada kemajuan iptek untuk menghindari
kerusakan fisik, kimiawi, dan mikrobiologi.
Dengan demikian maka citra produk
olahan tradisional dapat diperbaiki baik di
tingkat nasional maupun internasional.
Tabel 4. Tabel audit bahaya pada pengolahan ikan asin kering.
Operasi kritis
Potensi risiko
Titik kontrol kritis
Pengendalian
Pendaratan ikan
Pertumbuhan
Pengaturan suhu dan
Penggunaan es sesegera
mikroorganisme
waktu penanganan
mungkin, menjaga suhu
selalu < 5
o
C
Pencucian
Kontaminasi bakteri
Peningkatan higieni
Penggunaan air bersih
dan bahan kimia
Penggaraman
Kontaminasi
Peningkatan higieni
Penggunaan garam bersih,
mikroorganisme
pengecekan bakteri
halofilik pada garam,
penggunaan tangki
penggaraman yang bersih
Pengeringan
Pertumbuhan mikro- Pengendalian suhu
Penurunan aktivitas air
organisme infestasi
dan waktu pengering-
hingga 0,91 dalam waktu
lalat
an, sanitasi, perlin-
48 jam, lingkungan bersih
dungan produk
serangga termasuk lalat,
dan rekayasa alat penge-
ring
Penyimpanan
Pertumbuhan mikro- Pengaturan kelembap- Pengaturan kelembapan
organisme infestasi
an, suhu, waktu, dan
< 65%, lingkungan bebas
serangga
higieni
serangga, suhu < 10
o
C
Sumber: Kow et al. (1998), dengan modifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bhuiyan, A.K.M.A., W.M.N. Ratnayake, and
R.G. Ackman. 1993. Nutritional com-
position of raw and smoked Atlantic
mackerel (Scomber scombrus): oil and
water soluble vitamins. J. Food Com-
position and Analysis 6: 172−184.
Bligh, E.G., S. J. Shaw, and A.D. Woyewoda.
1988. Effects of drying and smoking on
lipids of fish In Fish Smoking and Drying,
the Effect of Smoking and Drying on the
Nutritional Properties of Fish J.R. Burt,
(Ed.). Elsevier Applied Science, London
and New York. p. 41−52.
Burt, J. R. 1988. The effect of drying and
smoking on the vitamine content of fish
In Fish Smoking and Drying, the Effect of
Smoking and Drying on the Nutritional
Properties of Fish. J.R. Burt, (Ed.). Elsevier
Applied Science, London and New York. p.
53−60.
Dikun, P.P., L.E. Romanova, J.A.Sheidrikova,
I.D. Rheim, and Z. Yu. Yunosova. 1980.
The contents of N-nitrosamine in some
varieties of canned fish. Rybnoe Khozy-
aistvo 8: 69−73.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Statistik
Perikanan 1977−1997. Ditjenkan, Deptan,
Jakarta. hlm. 35−36.
Doe, P.E. 1998. Indonesian guidelines. recomm.
code of practice for fresh and cured fish In
Fish Drying and Smoking, Production and
Quality. Technomic Publishing USA. p.
157−191.
Doe, P.E. and E. S. Heruwati. 1988. A model
for the prediction of the microbial spoilage
of sun-dried tropical fish. J. Food
Engineering 8: 47−72.
Doe, P.E., Z. Sikorski, N. Haard, J. Olley, and
B.S. Pan. 1998. Basic Principles In Fish
Drying and Smoking, Production and
Quality. Technomic Publishing USA. p. 13−
45.
Harada, K. and K. Yamada. 1979. Microbial
degradation of nitrosamines. I. Bull. Japan
Soc. Sci. Fisheries 45: 925−928.
Indriati, N. 1985. Insect and bacteria
distribution at fish landing sites: Muara
Angke and Kalibaru. Fourth Progress
Report. ACIAR-AARD Project 8304,
Jakarta. (Unpublished report)
Indriati, N. dan E.S. Heruwati. 1988. Pengaruh
kadar garam ikan asin kering terhadap
perkembangbiakan Dermestes maculatus
Degeer. Prosiding Seminar Penelitian
Pascapanen Pertanian. Buku I. Badan
Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 413−416.
Indriati, N., Tazwir, dan E.S. Heruwati. 1991.
Penyebab kerusakan pada ikan asin
pengecer dan grosir di Jakarta. Jurnal
Page 8
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
99
Penelitian Pascapanen Perikanan 71: 49−
55.
James, D. 1998. Production, consumption, and
demand In Fish Drying and Smoking,
Production and Quality P.E. Doe, (Ed).
Technomic Publishing ucaster, Pennsyl-
vania. p. 1−12.
Kodyat, B.A., A.R. Thaha, dan Minarto. 1998.
Penuntasan masalah gizi kurang. Prosiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta. hlm. 755−785.
Kow, F., T. Motohiro, P.E. Doe, and E.S.
Heruwati. 1998. Quality assurance In Fish
Drying and Smoking, Production and
Quality P.E. Doe, (Ed). Technomic
Publishing USA. p. 137−155.
Krone, C.A., S.M.J. Yeh, and W.T. Iwaoka.
1986. Mutagen formation during com-
mercial processing of foods. Environmental
Health Perspectives 67: 143−146.
Motohiro, T. 1988. Effect of smoking and
drying on the nutritive value of fish: a
review of Japanese studies In Fish Smoking
and Drying, the Effect of Smoking and
Drying on the Nutritional Properties of
Fish. J.R. Burt, (Ed.). Elsevier Applied
Science, London and New York. p. 91−120.
Opstvedt, J. 1988. Influence of drying and
smoking on protein quality In Fish Smoking
and Drying, the Effect of Smoking and
Drying on the Nutritional Properties of
Fish. J.R. Burt, (Ed.). Elsevier Applied
Science, London and New York. p. 23−36.
Pan, B.S. 1988. Undesirable factors in dried
fish products In Fish Smoking and Drying,
the Effect of Smoking and Drying on the
Nutritional Properties of Fish. J.R. Burt
(Ed.). Elsevier Applied Science, London
and New York. p. 61−71.
Rabie, C.J., A. Luebben, A.I. Louw, E.B.
Rathbone, P.S. Steyn, and R. Vleffar. 1978.
Moniliformin, a mycotoxin from Fusarium
fusarioides. J. Agric. Food Chem. 26(2):
375−379.
Raghunath, M.R., T.V. Sankar, K. Ammu, and
K. Devadasan. 1995. Biochemical and
nutritional changes in fish protein during
drying. J. Sci. Food Agric. 67: 197−204.
Santoso, I., I. Ganjar, R.D. Sari, and N.D.
Sembiring. 1999. Xerophilic moulds
isolated from salted and unsalted dried fish
from traditional markets in Jakarta. Indon.
Food and Nutrition Progress 6(2): 55−58.
Sarnianto, P., H.E. Irianto, and S. Putro. 1984.
Studies on the histamine content of
fermented fish product. Laporan Penelitian
Teknologi Perikanan 32: 35−39.
Sikorski, Z., N. Haard, T. Motohiro, and B.S.
Pan. 1998. Quality In Fish Smoking and
Drying, Production and Quality. P.E. Doe,
(Ed). Technomic Publishing USA. p. 89−
115
Sikorski, Z. 1988. Smoking of fish and
carcinogens In Fish Smoking and Drying,
the Effect of Smoking and Drying on the
Nutritional Properties of Fish. J.R. Burt,
(Ed.). Elsevier Applied Science, London
and New York. p. 73−83.
Suryana, A. dan J. Budianto. 1998. Penawaran,
permintaan pangan dan perilaku kebiasaan
pangan. Prosiding Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VI. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta. hlm. 147−
187.
Wheeler, K.A., A.D. Hocking, J.I. Pitt, and A.
M. Anggawati. 1986. Fungi associated with
Indonesian dried fish. Food Microbiol. 3:
351−357.
Zotos A., M. Hole, and G. Smith. 1995. The
effect of frozen storage of mackerel
(Scomber scombrus) on its quality when
hot-smoked. J. Sci. Food Agric. 67: 43−48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar